Pengelolaan Irigasi dan Drainase Mendukung Ketahanan Pangan


 Yogyakarta, 11 Mei 2018 - Kementerian Pertanian menggelar Focus Group Discussion (FGD) Tahap XI terkait tata kelola infrastruktur pertanian di Yogyakarta, Jumat (11/5). Diskusi ini diprakarsai oleh Staf Ahli Bidang Infrastruktur Pertanian, Dr. Ani  Andayani yang berkolaborasi dengan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Komda Daerah Istimewa Yogyakarta.


Menurut Ani Andayani, FGD ini guna untuk mengetahui dan menggali potensi serta memahami masalah-masalah penting dalam pemanfaatan lahan sub optimal untuk ketahanan pangan serta pencapaian lumbung pangan dunia. Lahan sub optimal adalah lahan yang secara alamiah mempunyai
produktivitas rendah karena faktor internal dan eksternal dimana sebagian diantaranya terdegradasi dan terlantar.

Karena itu, FGD ini menekankan pembahasan langkah-langkah strategis dalam upaya Pengelolaan Irigasi dan Drainase Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. 

“Diskusi ini pun bertujuan mempersiapkan petunjuk teknis bagi pendamping lapangan dalam upaya Pengelolaan Irigasi dan
Drainase Mendukung Ketahanan Pangan Nasional,” ujar Ani.

Ani menjelaskan petunjuk lapangan ini bertujuan untuk membekali pendamping lapangan dari Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mewujudkan 30.000 unit embung kecil dan bangunan tata air lainnya. Ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2018.

“Sehingga arahnya yakni agar dapat diimplementasikan secara optimal di pedesaan dalam rangka ketahanan pangan nasional,” jelasnya.

Untuk diketahui, FGD Tahap XI ini mengeluarkan beberapa rekomendasi penting sebagai upaya percepatan pencapaian ketahanan pangan. Pertama, pembangunan infrastruktur irigasi dan drainase lahan pertanian suboptimal. Kedua, pengelolaan air berbasis kearifan lokal.

Ketiga, lanjut Ani, budidaya komoditas alternatif di lahan suboptimal mendukung ketahanan pangan nasional. Keempat, pengembangan sumberdaya lingkungan lokal untuk pertanian berkelanjutan.

“Kelima, strategi budidaya tanaman pangan dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” ungkapnya.

Lebih lanjut Ani menegaskan pemanfaatan lahan sub optimal merupakan solusi yang ditempuh akan terbatasnya cadangan lahan pertanian subur di tengah tekad pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain itu, untuk mendukung terwujudnya visi menjadi Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia di tahun 2045.

“Pada tahun 2025 diprediksi akan dibutuhkan 7,3 juta lahan baru untuk sawah 1,4 juta ha, kedelai 2 juta ha dan jagung 1,3 juta ha, tebu & horti 2,6 juta ha,” tegasnya.

“Dan pada 2045 diperlukan tambahan lahan sekitar 14,8 juta ha, terdiri dari 4,9 juta ha sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Data ini berdasarkan analisis Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian di tahun 2015,” sambungnya.

Hadir narasumber pada FGD ini yakni Prof. Didiek Indradewa dari UGM, membahas pengelolaan Air Berbasis Kearifan Lokal. Narasumber lain yakni Dr. Sumarwoto memaparkan tentang komoditas alternatif di lahan suboptimal. Sedangkan Dr. Gatot dari Universitas Muhamadiyah Yogyakarta menyajikan terkait Pengembangan sumberdaya lokal. Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DIY yang memaparkan pengalaman lapangan terkait strategi budidaya tanaman pangan antisipasi dampak lingkungan.

Diskusi ini pun diikuti 20 orang mahasiswa STPP Magelang, sebagai generasi penerus dan pengawal pembangunan pertanian masa depan.



Berita Lainnya