Hampir Empat Tahun, Ekspor Peternakan Capai Rp 30,15 Triliun


 Jakarta - Kementerian Pertanian terus dorong upaya untuk wujudkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045 nanti. Salah satu capaian yang diraih selama empat tahun ini adalah peningkatan pada ekspor peternakan. Berdasarkan data realisasi rekomendasi ekspor Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), capaian ekspor subsektor tersebut pada tahun 2015 hingga 2018 semester I adalah Rp 30,15 Triliun.

 
“Kontribusi ekspor terbesar pada kelompok obat hewan yang mencapai Rp 21,58 Triliun ke 87 negara tujuan ekspor,”ungkap Direktur Jenderal PKH I Ketut Diarmita saat memaparkan “Kinerja Empat Tahun Subsektor Peternakan” pada kegiatan Bincang Asyik Pertanian Indonesia (BAKPIA), di kawasan Cilandak, Jakarta, Senin (12/11).
 
Selain obat hewan, tingginya nilai ekspor peternakan turut disumbang oleh ekspor babi ke Singapura sebesar Rp 3,05 triliun, susu dan olahannya sebesar Rp. 2,32 triliun ke 31 negara, bahan pakan ternak asal tumbuhan sebanyak Rp 2,04 Triliun ke 14 negara, produki hewan non pangan, telur ayam tetas, daging dan produk olahannya, pakan ternak, kambing/domba, DOC serta semen beku.
 
Peluang perluasan pasar untuk komoditas peternakan di pasar global, disebut I Ketut, masih sangat terbuka luas. Adanya permintaan dari negara di daerah Timur Tengah dan negara lain di kawasan Asia sangat berpotensi untuk dilakukan penjajakan. “Keunggulan halal dari kita juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk ekspor produk peternakan ke wilayah tersebut dan negara muslim lainnya,” tambahnya.
 
Pada saat ini masalah kesehatan hewan dan keamanan produk hewan menjadi isu penting dalam perdagangan internasional dan seringkali menjadi hambatan dalam menembus pasar global. Untuk memanfaatkan peluang ekspor, I Ketut menyebutkan perlu adanya dukungan dari seluruh stakeholder terkait, terutama dalam penerapan standar-standar internasional mulai dari hulu ke hilir.Penerapan standar internasional diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk peternakan Indonesia.
 
“Status kesehatan hewan menjadi kunci utama untuk membuka peluang ekspor ke negara lain. Kami melalui berbagai kesempatan internasional maupun regional, Indonesia secara konsisten memberikan informasi terkait jaminan kesehatan hewan dan keamanan pangan untuk produk yang akan di ekspor guna menembus dan memperlancar hambatan lalulintas perdagangan,”jelas I Ketut.
 
Ekspor komoditas unggas juga dinilai I Ketut masih berpotensi untuk ditingkatkan. Untuk itu, Saat ini Kementerian Pertanian terus melakukan restrukturisasi perunggasan, terutama untuk unggas lokal di sektor 3 dan 4 yang menjadi sumber utama outbreak penyakit Avian Influenza (AI). Selain itu, Kementan melalui Ditjen PKH terus menerus berusaha untuk membangun kompartemen-kompartemen AI dari penerapan sistem biosecurity, yang awalnya hanya 49 titik, saat ini sudah berkembang menjadi 141 titik. Empat puluh titik titik lagi masih menunggu untuk proses sertifikasi.
 
“Kementan terus mendesign kegiatan ini agar peternak lokal dapat menerapkannya karena kompartemen-kompartemen yang dibangun oleh Indonesia ini dapat diakui oleh negara lain, dengan terbentuknya kompartemen-kompartemen, maka Indonesia dapat ekspor, terus ekspor dan ekspor lagi,” terang DI Ketut.
 
Giatkan Upaya Wujudkan Swasembada Protein
 
Mencermati kondisi industri peternakan Indonesia saat ini dan ke depan, I Ketut menyampaikan bahwa saat ini kita sedang menuju swasembada protein hewani. Ini artinya sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat berasal dari keanekaragaman ternak, tidak tergantung pada satu macam sumber protein saja. “Untuk itulah, dilakukan penguatan peningkatan produksi dan produktivitas tidak hanya untuk sapi dan kerbau, namun kita juga mendorong bertumbuhkembangnya ternak lainnya, seperti kambing, domba, kelinci, unggas, dan sapi perah,” sambung I Ketut.
 
Populasi sapi dari tahun 2014 sampai tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 12,6 persen. Populasi kerbau dari tahun 2014 sampai tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 4,5 persen. Demikian juga dengan populasi komoditas ternak lainnya, seperti babi, kambing, domba, ayam buras, ayam ras pedaging dan petelur, serta itik.
 
Terkait pengembangan komoditas sapi/kerbau, telah terjadi loncatan populasi yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan populasi sapi-kerbau dari periode tahun 2014-2017 mengalami loncatan kenaikan pertumbuhan menjadi sebesar 3,83 persen per tahun, dibanding pertumbuhan populasi pada periode tahun 2012 – 2014 dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya yang menurun sebesar (1,03%).
 
Untuk mempercepat peningkatan populasi sapi/kerbau pada tahun 2015-2016 telah dilakukan program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB). Selanjutnya pada Oktober 2016 Kementan memperluas program ini dengan lebih mengoptimalkan pelayanan reproduksi kepada sapi-sapi milik peternak melalui Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting) yang bertujuan untuk mempercepat peningkatan populasi sapi di tingkat peternak. “Esensi Upsus Siwab adalah mengubah pola pikir petani ternak, yang cara beternaknya selama ini masih bersifat sambilan, menuju ke arah profit dan menguntungkan bagi dirinya,” jelas I Ketut.
 
Berdasarkan perhitungan analisa ekonomi, jika harga anak sapi lepas sapih rata-rata sebesar 8 juta rupiah, sedangkan hasil Upsus Siwab 2017 – 2018 sebanyak 2.385.357 ekor ekor, maka akan diperoleh nilai ekonomis sebesar 19,08 Triliun. “Nilai yang sangat fantastis mengingat investasi program Uspsus Siwab 2017 – 2018 hanya sebesar Rp. 1,41 T, sehingga ada kenaikan nilai tambah di peternak sebesar 17,67 Triliun rupiah,” tutup I Ketut.
 



Berita Lainnya