Kementan Respon Cepat Lakukan Penanganan Banjir di Areal Persawahan Pati


Pati,- Akibat dampak La Nina yang terjadi di Musim Tanam 2020/2021, lahan pertanian di Provinsi Jawa Tengah umumnya dilanda banjir sejak awal Desember 2020. Pati menjadi salah satu kabupaten yang terdampak banjir secara terus menerus dan masih dirasakan oleh petani hingga saat ini. 
 
Curah hujan yang sangat tinggi menjadi pemicu meningkatnya debit air di bendungan Wilalung sehingga melampaui kapasitasnya yaitu diatas 800 m3/detik. Sugeng, salah seorang penjaga pintu Waduk Wilalung menjelaskan, apabila pintu air ke arah Pati tidak segera dibuka maka akan mengancam ribuan nyawa di pemukiman sekitarnya sehingga pemerintah setempat mengambil kebijakan untuk membuka pintu air yang ke arah Sungai Wulan yang bermuara ke laut.
 
Namun karena hujan masih turun terus menerus menyebabkan sungai Wulan meluap dan menggenangi areal persawahan di sekitarnya. "Hal inilah  menjadi salah satu penyebab mengapa sawah-sawah di sekitarnya tetap tergenang air hingga seperti lautan yang belum tahu kapan surutnya," ujarnya.
 
Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Kabupaten (Koortikab POPT) Pati-Kudus Provinsi Jawa Tengah, Sujiyanto, menyebutkan bahwa curah hujan tinggi dan dibukanya pintu air Waduk Wilalung pada tanggal 28-29 Januari 2021 yang merupakan buangan dari Waduk Kedungombo menjadi faktor penyebab banjir di sebagian besar areal persawahan di Kabupaten Pati dan sekitarnya. “Pendangkalan sungai Jratunseluna dan meluapnya sungai Juwana menambah parahnya banjir yang terus menggenang," tambah Sujiyanto.
Kejadian banjir terjadi sejak awal Desember 2020 hingga awal  Februari 2021.
 
Tingginya curah hujan mulai terjadi sejak tanggal 8 Desember 2020 dan menggenangi kurang lebih 3.800 an hektar sawah. Saat ini sekitar 2.000 an hektar puso akibat genangan air yang belum juga surut.
 
Daerah terluas terkena dampak banjir adalah di Kecamatan Sukolilo, Jakenan, Gabus dan Kayen yang merupakan daerah rawan banjir sehingga hampir tiap tahun dilanda banjir.  
 
Sementara itu, petugas POPT lain, Siswanto, menambahkan bahwa upaya pompanisasi tidak bisa dilakukan karena tempat pembuangan air lainnya seperti sungai dan laut juga sedang naik ketinggian airnya. Selanjutnya terkait dengan pendangkalan Sungai Jratunseluna, perwakilan Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pati, Kasimin, menyebutkan bahwa pihaknya sudah menghubungi Dinas PUPR Kabupaten Pati untuk melakukan pengerukan sedimen sungai tersebut. “Hal ini diharapkan mampu mereklamasi kedalaman air sungai sehingga menaikkan daya tampungnya”, tandas Kasimin.
Namun, ditengah bencana ini para petani setempat melakukan inovasi kreatif terkait dengan pola tanam.
 
 Seperti yang dilakukan oleh Kelompok Tani di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, para petani melakukan pemajuan pola tanam dari yang seharusnya bulan Oktober-November menjadi bulan September sehingga meminimalkan resiko kerugian ekonomi akibat gagal panen. Lebih lanjut, gerakan pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) tikus di wilayah tersebut juga semakin diintesifkan sebagai upaya untuk menekan resiko rusaknya tanaman pasca banjir. 
 
Hal yang cukup melegakan, hampir semua poktan di Pati sudah menjadi anggota program asuransi pertanian dari Kementan, yaitu Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), dan sampai saat ini telah mengajukan proses klaim. Selain itu, saat ini sedang diproses juga pengajuan bantuan benih ke Dinas Pertanian setempat sebagai upaya re-planting di areal persawahan yang terdampak.
 
Dihubungi dari Jakarta, Direktur Perlindungan Tanaman, Mohammad Takdir Mulyadi, mengatakan bahwa banjir adalah dampak perubahan iklim yang terjadi secara berulang-ulang, artinya pola/trend kejadiannya sudah diketahui di lokasi-lokasi yang rawan sehingga harus dapat diantisipasi. “Kementan terus mengupdate data laporan banjir dari teman-teman di lapangan. Diharapkan laporan ini bisa menjadi benchmark bagi kami untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat”, ungkap Takdir.
 
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi menjelaskan penanganan banjir di wilayah terdampak yang menyebabkan massive destructive bagi areal persawahan. “Dibutuhkan kerjasama kolektif dan komprehensif dari stakeholder, POPT, PPL dan petani sehingga penanggulangan dampak pasca banjir dapat diselesaikan dengan cara yang efektif dan efisien”, pungkas Suwandi.



Berita Lainnya